MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Masalahnya adalah.........

Dalam beberapa diskusi membahas upaya-upaya melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, kerap kali terdengar uraian yang sekilas terdengar cerdas. Sebagian mengatakan,” masalahnya adalah kita belum punya grand design yang jelas mengenai gagasan ini”. Ada juga yang mengatakan,” masalahnya tim kita terlalu sedikit, sehingga tidak mungkin mencapai target yang kita tuju”.

”Masalahnya adalah dana perusahaan masih kurang,” demikian sela yang lain.

Sungguh menarik pola pikir kebanyakan dari kita. Semakin cerdas dan pintar, semakin mendalami masalah yang kelak akan dihadapi. Celakanya, dengan pola pikir bahwa disetiap rencana sesuatu yang selalu dilihat adalah bagian masalah, maka semakin hari yang kita pikir adalah bagian besar yang kita sebut sebagai masalah.

Memang, kemanapun kita pergi, kita akan bertemu masalah. Jika ada orang bersedih bahwa “hidupku penuh dengan masalah” maka sebetulnya ia berkata benar. Hidup memang dipenuhi dengan aneka ragam masalah. Yang membedakan satu orang dengan yang lainnya adalah cara menghadapi masalah.

Orang yang tidak memiliki masalah adalah yang tidak sedang menikmati kehidupan, kata Elbert Hubbard. Maka, masalah bukan hanya untuk dihadapi, tapi juga dinikmati sebagai bagian dari indahnya hidup ini.

Orang yang hidup dengan kedamaian dan kebahagiaan bukanlah berarti karena situasi yang mereka hadapi selalu membahagiakan. Seseorang yang bahagia bukanlah orang yang berada dalam keadaan yang pasti melainkan orang yang selalu memiliki sikap yang pasti (Hugh Downs).

Artinya yang menjadi masalah bukanlah masalah itu sendiri dmelainkan cara kita menghadapi masalah.

Norman Vincent Pale, seorang pendeta, yang meninggal tahun 1993 di usia 95 tahun, sangat dikenal sebagai tokoh yang sangat getol memberi petuah agar kita tidak risau dengan bermacam masalah yang kita hadapi dari hari ke hari.

Ia mengatakan, kita tinggal memilih di antara dua hal, yaitu merasa nyaman atau merasa kacau dengan kehidupan kita. Kebanyakan orang secara tidak sadar memilih yang kedua. Bagi yang memilih nyaman, maka hidup ini akan terasa nyaman dan membahagiakan, dan sebaliknya yang telah memilih kacau, maka apapun yang kita hadapi sehari-hari seakan-akan dunia ini akan kiamat besok pagi.

Lantas bagaimana kita bisa memilih hidup nyaman, sementara kenyataannya setiap hari banyak copet dan pencuri berkeliaran, banyak orang curang dalam berdagang, banyak pengemis di jalanan, banyak pengendara yang ugal-ugalan dan berbagai situasi negatif lainnya.

Inilah kisah favorit Norman Vincent Pale bersama sahabatnya George (saya kutip dari buku Chicken Soup For The Soul karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen) yang relevan dengan soal masalah.

Saya sedang berjalan ketika melihat teman saya George mendekat. Wajahnya tampak sarat dengan beban kehidupan. Ia kelihatan sedang kalut pikirannya.

”Apa Kabar George?” kata saya, sekedar basa basi.

Meski basa basi, George menanggapinya dengan sangat serius. Selama 15 menit ia menceritakan betapa susahnya kehidupan dia. Semakin lama ia bercerita semakin sedih hati saya.

Akhirnya saya berkata kepadanya,” George, saya ikut sedih melihatmu dalam keadaan tertekan seperti ini. Mengapa kamu bisa seperti ini?” Dia kemudian menceritakan banyak sekali masalah yang membuatnya sangat sulit..

”Ini karena masalah-masalah saya,” katanya.

”Saya muak dengan semua masalah ini. Jika kau dapat menghilangkan semua masalah yang saya hadapi, saya menyumbang 5 ribu dollar untuk yayasan amalmu,” ujar George serius.

”Bagus!” pikir saya. Saya tidak akan mengabaikan penawaran seperti ini.

”Kemarin saya pergi ke tempat tinggal ribuan orang. Sejauh yang saya tahu tidak seorangpun dari mereka yang punya masalah. Kau ingin pergi kesana?” Kata saya bersemangat.

”Kapan kita bisa pergi? Kedengarannya ini cocok untukku,” kata george.

”Jika demikian George, saya akan dengan senang hati mengajakmu ke pemakaman di ujung kota ini, di sanalah satu-satunya tempat dimana orang sudah tidak memiliki masalah”.

Norman Vincent Pale mengajarkan kita bahwa selama hayat masih di kandung badan, sebenarnya selama itulah kita akan berhadapan dengan masalah atau problem. Istilah problem atau masalah sudah terlanjur kita pandang dengan sesuatu yang negatif, yang seharusnya tidak ada dalam kehidupan kita. Padahal, problem asal usulnya berarti ”untuk mencapai kemajuan”. Itu artinya semua masalah yang kita hadapi adalah dalam rangka mencapai kemajuan. Semakin banyak masalah yang kita hadapi, berarti ujian dalam rangka kita akan naik kelas yang lebih baik. Percayalah, jika anda berkumpul dengan puluhan orang kaya raya yang penuh wajah kesuksesan, anda sedang berhadapan dengan orang-orang yang menghadapi beragam masalah dan berhasil menghadapinya. Mereka kerap kita sebut sudah makan asam garam dunia ini, sudah malang melintang dalam kehidupan.
Bila, saat ini anda merasa sedang dirundung masalah yang sangat berat, tak usah khawatir, semua masalah itu wajar adanya. Anda pasti punya solusinya.
”Jika anda merasa tidak mempunyai masalah, anda dalam bahaya besar,”kata Norman.
Setuju! Karena jika anda tidak memiliki masalah, berarti sama dengan saudara kita yang sudah di alam kubur.***

Email: bambangsuharno@yahoo.com

Penjual Jembatan Brooklyn

“Kemarin sore saya tertawa terbahak-bahak ketika membaca sebuah artikel dimana didalamnya tertulis penawaran Dijual Jembatan Brooklyn Seharga $14,95 - Dengan Sertifikat,” demikian bunyi sebuah email dari sahabat saya, Pak Sam, pemilik mentorbisnis.com.
“Gimana nggak ketawa, karena saya membayangkan kalo ada orang tiba-tiba menulis begini di koran hari ini- Dijual Jembatan Semanggi Rp 125.000 Bersertifikat. Apa anda kira ini nggak gila? Tidak ada orang di dunia ini yang melakukan Jual Beli Jembatan. Yang ada mungkin memenangkan tender membangun jembatan, atau renovasi jembatan ini jelas ada,” tambahnya berapi-api.
Tapi, si penulis email ini lantas menceritakan, bahwa ternyata dialah yang agak kurang gila. Berikut ini kisah tentang jembatan brooklyn tersebut yang ia baca.
Paul Hartunian, tak seorangpun mengenalnya di Amerika sebelum memasuki dekade ini, tetapi saat ini ia dikenal sebagai Penjual Jembatan Brooklyn. Ini berawal ketika pemerintah Kota New York berencana untuk merenovasi Jembatan Brooklyn yang sudah melegenda dan berusia 100 tahun itu. Tidak ada yang aneh dari renovasi ini, namun Paul melihat peluang di balik renovasi ini.
Biasanya, saat renovasi bangunan lama dihancurkan dan menjadi puing-puing yang terkadang dijualpun orang pada tidak mau membelinya, kecuali dibuat brangkal. Nah, Paul melihat emas di balik puing jembatan Brooklyn ini. Dia beli semua kayu-kayu jembatan tersebut tentunya dengan harga yang sangat sangat murah, sekitar kurang dari $1.000. Lalu Paul memotong kecil-kecil Kayu tersebut seukuran separuh dari penggaris 30 cm. Kemudian ia mendesain sebuah sertifikat menarik, dimana potongan kayu Jembatan Brooklyn tadi ia tempelkan persis ditengah-tengah sertifikat tersebut.
Dengan tambahan bingkai sebagai asesoris agar lebih menarik, maka Paul telah memiliki sebuah produk brilian. Lalu dengan kelihaiannya menggunakan teknik penjualan Free publicty Paul mulai memasarkan produk aneh ini dengan harga $14,95 per buah. Pada awalnya tidak ada yang tertarik untuk membeli, tetapi Paul sangat gigih. Untuk lebih meningkatkan value produknya, maka pada sertifikatnya Paul merangkai kata sebagai berikut ; “Dengan membeli produk ini anda telah turut melestarikan dan menyimpan sebuah karya besar bangsa ini”.
Menurut anda apakah produknya sekarang punya nilai jual yg lebih?Ya , Puluhan Ribu pesanan mengalir dari berbagai Departemen Store Amerika, dan Paul Meraup keuntungan bersih lebih dari $400.000 (hampir empat milyar rupiah) hanya dengan sebuah ide sangat sederhana. Saat ini Paul menikmati hasil kerja kerasnya tersebut dan dikenal sebagai ahli dalam Pemasaran dengan menggunakan teknik Free Publicity.

***
Pesan dari kisah sukses ini sebenarnya adalah, jangan pernah meremehkan ide anda. Eksplorasilah, pelajarilah, dan jika anda sudah sampai pada keputusan untuk mewujudkannya maka fokuslah. Fokus kepada hasil akhirnya bukan pada tetek bengek yang melelahkan, yang terkadang kalo anda tidak sabar, bisa membuat anda frustasi dan pada akhirnya anda tidak termotivasi lagi mewujudkan ide brilian anda tersebut.
Ide menjual jembatan adalah ide sederhana tapi gila alias tidak lazim. Dan sebagaimana umumnya di masyarakat manapun, sesuatu yang tidak lazim pada awalnya pasti ditentang. Bagi orang bermental sukses seperti Paul, tantangan dan cemoohan itu malah membuat dia lebih kreatif, yakni dengan membuat sertifikat sehingga orang yang membeli merasa bahwa ia telah membeli barang berharga dan ikut melestarikan karya besar bangsa. Yang lebih penting lagi adalah Paul terus memfokuskan diri pada pengembangan ide itu hingga lebih matang dan akhirnya menjadi uang. Fokus adalah hal yang sederhana, tapi sangat membosankan. Banyak orang tidak tahan menahan gelombang cemoohan, bosan dengan waktu menunggu atau gunjingan dari teman.
Maka seumpama anda mempunyai ide baru dan hasrat yang menggebu, segeralah “take action” dan teruslah konsisten dan fokus pada tujuan realisasi ide. ***
www.bambang-suharno.blogspot.com

Kekuatan Bersyukur


Jika kita bersyukur terhadap apa yang kita miliki, maka kita akan mendapatkan lebih banyak lagi yang layak kita syukuri. Saya dan juga anda, tentu begitu sering mendengar kalimat semacam ini sehingga tanpa sadar kadang merasakan bahwa kalimat ini hanya sekedar kalimat pelipur lara saja.
Lain halnya ketika saya membaca bahasan tentang syukur yang ditulis oleh Rhonda Byrne dalam buku berjudul The Secret (Rahasia). Buku ini menjadi perbincangan hangat di Amerika Serikat. Penulisnya tampil dalam dua acara televisi yang paling bergengsi yakni acara yang dipandu Larry King dan acara Oprah Winfrey. Di Indonesia Buku The Secret versi Bahasa Indonesia termasuk dalam kategori buku best seller nasional.
Menurut cerita, Rhonda Byrne semula mengalami masalah hidup yang sangat berat. Kemudian dia menemukan sebuah buku yang mengungkapkan rahasia terbesar sepanjang jaman, yang merupakan jawaban atas segala persoalan yang sedang dia alami. Karena penasaran, Rhonda Byrne kemudian melakukan pencarian tentang informasi yang lebih lengkap tentang The Secret itu sendiri, yang ternyata di masa lalu dikuasai oleh orang-orang yang telah memberikan sumbangan besar kepada dunia, seperti Newton, Emerson, Beethoven, Edison, Einstein dan sebagainya.
Hasil pencarian itu, Byrne menemukan beberapa Secret Teacher masa kini, diantaranya Bob Proctor (pembicara internasional), Jack Canfield (penulis buku Chicken Soup For The Soul yang telah dicetak 50 juta eksemplar), John Demartini dan lain-lain. Mereka membeberkan rahasia sukses dalam buku ini.
Byrne mengatakan, banyak orang sukses tidak mengetahui ada buku ini, namun jika diteliti cara-cara hidupnya, orang-orang hebat ini (tentunya hebat dalam jalur kebaikan) secara tidak sadar telah mempraktekkan apa yang ada di dalam buku ini.
Satu hal dalam buku The Secret yang paling menarik menurut saya adalah tentang bersyukur. Mengutip petuah Joe Vitale, Byrne mengatakan, bila anda ingin mengubah hidup, hal pertama yang dapat anda mulai adalah membuat daftar hal-hal yang anda syukuri. Jika sebelumnya anda berfokus pada apa yang tidak anda miliki, pada keluhan dan masalah anda, sekarang anda dapat menemukan perbaikan luar biasa bila mulai melakukan latihan bersyukur.
John Demartini menambahkan apapun yang kita pikirkan dan syukuri, kita akan mendapatkannya lagi. Silakan anda praktekkan!
”Syukur adalah bagian mendasar dari ajaran-ajaran guru besar sepanjang sejarah,” kata Bryne. Dalam buku The Science of Getting Rich karya Wallace Wattles di tahun 1910, syukur adalah bab yang terpanjang. Demikian pula dalam buku The Secret ini, setiap orang yang ditokohkan menggunakan rasa syukur sebagai bagian dari hari-hari sukses mereka. Mereka memulai aktivitas pagi hari dengan pikiran dan perasaan syukur.
Lantas, mengapa bersyukur bisa mendatangkan lebih banyak hal yang layak disyukuri lagi? Ini dapat dijelaskan dengan hukum tarik menarik (law of attraction) yang merupakan prinsip utama sukses.
 Law of Attraction menyatakan bahwa pikiran akan membentuk realitas. Pikiran yang positif akan menarik hal-hal yang positif, pikiran yang negatif akan menarik hal-hal yang negatif. Dasar ilmiahnya adalah bahwa pikiran kita merupakan gelombang, sebagaimana setiap partikel yang menyusun semesta ini. Pikiran kita selalu membangkitkan getaran yang akan direspon oleh semesta. Dalam fisika kuantum dikemukakan bahwa kejadian di luar sana hanyalah samudera kemungkinan-kemungkinan, yang menjadi "realitas" setelah dibentuk oleh pikiran. Bila anda melihat batu, dia adalah samudera kemungkinan yang oleh pikiran dapat berubah menjadi perhiasan, bahan kimia, alat rumah tangga atau apapun, tergantung pikiran manusia. Jadi pikiranlah yang membentuk "dunia" kita.
Demikian halnya dengan kejadian yang kita alami saat ini, sesungguhnya adalah hasil pikiran kita jauh hari sebelumnya, sengaja ataupun tidak. 
Ambil contoh, misalkan anda tersinggung dengan perkataan seseorang, lantas anda fokuskan pada perasaan tersinggung itu, maka rasa tersinggung akan menarik ketersinggungan yang lebih besar lagi. Anda tersinggung satu hal dari satu orang, bisa bertambah menjadi beberapa hal dari satu orang. Kemudian anda pikirkan dan rasakan ketersinggungan anda, maka berikutnya anda bisa tersinggung oleh orang lain. Demikian seterusnya, sehingga ketersinggungan akan menarik ketersinggungan berikutnya.
Sebaliknya bila anda sekuat tenaga memikirkan hal positif dari orang yang menyinggung anda, selanjutnya rasa tersinggung akan sirna. Pikiran positif akan menarik pikiran positif. Kejadian bahwa hati anda kemudian lebih tenang, tidak tersinggung dengan perkataan orang, dan kemudian mendapatkan orang lain yang ramah adalah hasil dari pikiran anda sebelumnya.
Jika anda mengeluh, law of attraction akan mendatangkan lebih banyak situasi yang anda keluhkan ke dalam hidup anda. Anda mengeluh bos anda berlaku tidak adil? Kemanapun anda pergi anda akan menemukan lebih banyak orang yang bertindak tidak adil kepada anda. Jika anda mendengar seseorang mengeluh dan anda berfokus pada hal itu, bersimpati kepadanya, saat itu juga anda menarik lebih banyak situasi kepada diri anda untuk mengeluh juga.
Kita tak perlu mengusir hal-hal buruk, cukuplah dengan menarik hal-hal baik, maka yang buruk akan pergi. Bersyukur adalah menarik hal yang baik, yang dengan sendirinya mengusir hal yang buruk. Dengan kata lain, menurut Law of attraction, bersyukur (hal positif) akan menarik ”hal positif” lain yang layak disyukuri.
Dengan penjelasan ini, ”petuah bersyukur” tidak lagi terasa seperti kalimat pelipur lara. Ini soal hukum alamiah yang sudah berlaku sejak dulu kala. Awalilah hari anda dengan rasa syukur yang sebenar-benarnya, kalau perlu sampai berlinang air mata, terhadap yang telah anda miliki. ***
http://www.bambang-suharno.blogspot.com

Belajar Mental Entrepreneur Dari Transmigran

Beberapa waktu lalu saya pergi ke daerah pemukiman transmigrasi di Lampung
Utara. Mereka berasal dari Pulau Jawa dan Bali, memulai bermukin dan membuka
lahan perkebunan di sana sejak tahun 1983. Sebagai sebuah program besar dari
pemerintah, setiap keluarga petani mendapat jatah 2 Ha lahan dan biaya hidup
untuk 1,5 tahun gratis. Mereka semua juga diberi perlengkapan pertanian dan
paket penyuluhan pertanian. Pendek kata mereka datang dengan modal yang
sama.

Tahun berganti tahun, mereka sudah mulai dapat memanen hasil jerih payahnya
di perkebunan mereka, yakni kebun karet dan sebagian kebun kelapa sawit.
Ada pula tanaman lainnya seperti singkong, nanas dan sebagainya. Ternyata
dengan modal yang sama, perkembangan mereka di kemudian hari sangat
berbeda-beda.

Sekarang, setelah 25 tahun berjalan kekayaan mereka sangat jauh beda. Ada
yang sudah memiliki 10 Ha, ada yang 15 ha, tapi ada juga yang lahannya sudah
habis, yang tersisa hanya rumah dan pekarangan saja. Bagi yang sudah habis
tanahnya, mereka kini bertindak sebagai petani penggarap alias buruh tani.

Kondisi ini menegaskan bahwa modal bukanlah faktor utama untuk kesuksesan
bisnis. Umpamanya saya memberi Anda masing-masing Rp 100 juta untuk modal
usaha, 10 tahun yang akan datang di antara Anda ada yang memiliki 300 juta,
ada yang 400 juta, ada pula yang nol rupiah, bahkan bisa saja ada yang malah
terjerat hutang ratusan juta rupiah.

Dalam kasus petani transmigran yang sekarang hanya sebagai petani penggarap,
mereka pada umumnya mengalami hal demikian akibat cara pengelolaan uangnya
bukan dengan cara entrepreneur.

Orang-orang yang berjiwa entrepreneur selalu berusaha mengeluarkan uang yang
produktif. Mereka berusaha uang yang keluar tidak hilang begitu saja
melainkan menjadi uang kembali dalam jumlah yang lebih banyak. Para petani
transmigran yang sukses, sejak awal pandai berhemat. Berhemat itu bukan
sekedar mengencangkan ikat pinggang melainkan penghematan dalam rangka
meningkatkan produktivitas uang. Jadi ketika mereka panen, sebagian uangnya
segera disisihkan untuk membuat penghasilan baru yang lebih besar.

Sementara itu di tengah masyarakat transmigrasi itu ada pula keluarga yang
ingin cepat menikmati hasil. Begitu mereka panen, segera sepeda motor baru,
perlengkapan rumah tangga yang lebih mewah, baju yang lebih mahal dan
pengeluaran konsumtif lainnya sehingga tak ada sisa dana untuk membuat
kebunnya lebih produktif.

Mereka terbiasa hidup boros. Hasil panen ternyata terasa kurang. Mereka
pinjam uang ke sana-kemari untuk membeli barang mewah. Beberapa tahun
kemudian, ketika kebutuhan hidup semakin tinggi, sementara hutang makin
menumpuk, apa boleh buat kebun sebagai aset yang harus dikembangkan, malah
harus dijual.

Ini seperti kisah angsa bertelur emas. Alkisah, di sebuah desa ada petani
yang kara raya. Ia kaya karena memiliki angsa bertelur emas. Setiap angsanya
bertelur, kehidupannya bertambah mewah dan konsumtif, apapun yang bisa
dibeli langsung dibeli. Dengan memiliki angsa bertelur emas, dia berani
pinjam duit karena dapat dikembalikan dengan menjual telur emas.

Lambat laun hutang makin tak terkendali, dan makin banyak debt colector
mendatangi rumahnya. Akibatnya ia minta kepada angsa agar dapat bertelur
emas sehari dua kali. Tentu saja tidak bisa. Akhirnya karena ia tidak dapat
memperoleh telur emas, ia memutuskan menyembelih angsa tadi dan membedah
perutnya dengan harapan sudah ada telur di perut sana. Ia tidak menemukan
telur, melainkan angsa mati yang tak dapat bertelur lagi.

Hal yang senada terjadi pada transmigran di Lampung yang saya kunjungi.
Mereka yang tidak dapat mengendalikan uang, menjadi boros dan lambat laun
hutangnya (hutang konsumtif) semakin menumpuk. Mereka kehabisan akal hingga
kemudian memutuskan untuk menjual perkebunannya yang selama ini bertindak
sebagai angsa bertelur emas.

Ujian mental seorang entrepreneur adalah ketika ia mulai mendapatkan uang.
Apakah tetap konsisten membuat uang lebih produktif atau langsung tergoda
untuk membelanjakan uangnya sebagai uang konsumtif.

Bila anda ingin lulus dari "ujian mendapatkan uang", segeralah ingat petuah
ini; seorang entrepreneur selalu berusaha untuk produktif, yaitu
mengeluarkan uang untuk menjadi uang yang lebih banyak. Dan jangan lupa
sedekah, sebagai pembuka pintu rejeki yang halal dan barokah.

Sukses untuk anda.****

www.bambang-suharno.blogspot.com

Pelajaran dari Coca-Cola; Botolkan Saja



Tahun 2003 lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke kota Atlanta, Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, untuk mengikuti seminar dan melihat sebuah pameran bisnis perunggasan terbesar di dunia, International Poultry Expo (IPE). Lokasi pameran sangat strategis, yakni di Georgia World Conggres Center (GWCC). Tidak jauh dari sana, ada kantor pusat studio televisi CNN dan kantor pusat perusahaan  minuman ringan terbesar di dunia, Coca-cola. 

Sayang sekali, karena padatnya acara di pameran dan seminar saya tidak sempat melihat lebih jauh kantor pusat Coca-cola yang sebenarnya sangat menarik perhatian saya. Sebelumnya saya sudah mencari informasi perihal minuman botol yang paling merajai dunia itu. Saya ingat, sebuah survey yang menyatakan ada satu merek yang paling dikenal seluruh penduduk bumi ini adalah Coca-cola. Dari New York hingga pedalaman Afrika hampir semuanya mengenal merek tadi.

Coca-Cola didirikan oleh Candler yang semula adalah pemilik sebuah toko kimia yang tidak begitu terkenal. Pada awalnya minuman Coca-cola dijual dalam sebuah kedai minuman, semacam warkop di negeri kita. Para penggemar Coca-cola dimanapun, bila ingin menikmati minuman Coca-cola harus datang ke kedai, cukup dengan mengeluarkan kocek 5 sen dolar. Ramuannya adalah coke dicampur soda, yang membuat tubuh terasa segar.

Coca-cola berhasil merebut hati konsumen di wilayah Atlanta. Hampir setiap toko kimia di kota itu memiliki kedai soda yang menjual minuman Coca-cola. Lantas pada tahun 1888, Candler mendapatkan hak paten atas karyanya tersebut.

Perjalanan sukses Candler tidak berhenti sampai di sini. Dikisahkan, pada suatu hari seorang kawan Candler datang ke kantornya dan menawarkan sebuah rahasia penting yang bisa membuat Coca-cola menyebar ke seantero dunia. Untuk mengungkap rahasia tersebut, teman Candler meminta bayaran yang tidak kecil untuk ukuran dia.

Setelah berdiskusi cukup alot, akhirnya Candler bersedia menandatangi cek pembayaran atas informasi dari sang kawan tadi. Dengan gembira, sang kawan menerima cek tersebut. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke telinga Candler membisikkan dua kata yang di kemudian hari merubah perusahaan coca cola yang semula perusahaan lokal menjadi perusahaan yang mendunia.

Dua kata tersebut adalah ”Botolkan saja!”.  

”Ya, botolkan saja. Hanya itu!” kata kawannya. Candler terkesima. Kepalang sudah mengeluarkan uang yang banyak,  Candler menuruti apa yang disarankan kawannya tadi. Selanjutnya anda tahu sendiri bagaimana suksesnya minuman ini di berbagai belahan bumi.

Sebelum coca-cola dijual botolan, orang yang mau menikmati Coca-cola harus berkunjung ke kedai.  Sama seperti kita berkunjung ke warung makan, minta kopi atau teh manis hangat. Kita nunggu dan datanglah pesanan kita.

Dengan sistem penjualan melalui warung atau kedai, pertumbuhan bisnis Coca-cola hanya berkembang di wilayah kota Atlanta dan sekitarnya saja.  Untuk merambah ke kota lain, dibutuhkan survey lokasi, survey konsumen, modal untuk sewa tempat dan sebagainya. Setelah minuman ini disajikan dalam botol, konsumen dimanapun di dunia bisa menikmati coca cola, tanpa harus datang ke kantin atau warung makan. Ambil botol, langsung nikmati.

Proses ini kata Burke Hedges dalam buku Copycat Marketing disebut sebagai efisiensi yang sebenar-benarnya. Padanan dari kata efisiensi adalah leverage yang berasal dari Bahasa Perancis yang artinya menjadikan lebih ringan. Perubahan penjualan coca cola dari bentuk kedai menjadi bentuk botol adalah sebuah efisiensi. Pengembangan coca cola menjadi jauh lebih ringan dengan model pembotolan, dibanding dengan membangun kedai di berbagai penjuru.

Teknologi telah begitu banyak membuat banyak hal lebih efisien. Contoh yang paling sederhana dan telah diajarkan siswa Sekolah Dasar adalah alat ungkit. Bila kita akan mengganti ban mobil, berapakah waktu dan orang yang bisa mengangkat mobil dan mengganti ban? Tiga orang? Mungkin lebih. Dengan alat ungkit alias dongkrak, cukup satu orang bisa mengganti ban mobil.

Efisiensi bukan saja karena semata-mata teknologi seperti alat ungkit, dapat pula dalam bentuk gagasan radikal untuk merubah pola kerja, seperti halnya yang terjadi di Coca-cola.

Alkisah, di sebuah gedung perkantoran, banyak keluhan terhadap lamanya waktu menunggu lift. Manajemen gedung berusaha menambah lift baru, tapi komplain tentang hal itu tetap bermunculan. Kemudian muncullah satu ide yang mudah dan sangat murah untuk dilaksanakan, yaitu memasang cermin di lift. Setelah ada cermin di pintu lift, pengunjung maupun karyawan di gedung tersebut tidak merasa menunggu terlalu lama antrian lift, karena asyik bercermin. Ini benar-benar cara menangani komplain yang sangat efisien.

Dalam hal pengalaman coca-cola tadi, proses merubah sajian coca-cola dari bentuk konvensional menjadi bentuk botol tidaklah sesederhana cerita tadi. Di balik kisah sukses itu pasti ada tantangan, bagaimana merubah pola manajemen dari sistem penjualan eceran menjadi penjualan masal dan dari manajemen warung menjadi manajemen korporasi.

Itu sebabnya gagasan merubah sesuatu perlu dibarengi dengan sistem yang mendukung. Setiap perubahan membutuhkan mental untuk siap berubah ke arah yang lebih baik. Bagi saya, Candler bukan hanya berhasil ”membotolkan saja”, melainkan sukses untuk membuat semua karyawan Coca-cola untuk bersama-sama berubah dalam mengelola perusahaan.

“Botolkan saja” adalah awal dari sebuah perubahan, selanjutnya perubahan terus terjadi di segala lini perusahaan. Hal senada sering terjadi di perusahaan ketika ada keputusan baru, pemimpin baru, pabrik baru dan hal-hal baru lain yang menuntut perubahan di semua bagian. 
(dari buku: Jangan Pulang Sebelum Menang. www.bambang-suharno.blogspot.com)











Sudahkah anda mengalaminya?