MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Tampilkan postingan dengan label peternakan sapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peternakan sapi. Tampilkan semua postingan

Impor Daging dan Pengabaian Terhadap Segitiga Emas Peternakan



Ilmu paling mendasar bagi calon insinyur peternakan adalah segitiga produksi peternakan. Ibarat belajar kenegaraan, segitiga produksi setara dengan  pancasila sebagai “dasar negara”. Artinya “dasar negara” bagi Republik Peternakan adalah segitiga produksi.



Materi “dasar negara” ini demikian sering diulang di berbagai matakuliah dan forum diskusi sehingga lama-lama banyak yang menjadi bosan membahas materi ini.  Sama bosannya mendiskusikan Pancasila dalam berbagai Penataran P4 era orde baru. Para dosen pun tampaknya menyampaikan pengetahuan ini secara normatif saja tanpa menjiwai apalagi mengelaborasi dalam kondisi aktual negara Republik Peternakan Indonesia.



Segitiga produksi menggambarkan segitiga sama sisi yang merupakan aspek paling penting dalam budidaya peternakan. Ketiga aspek tersebut adalah breeding (pembibitan), Feeding (pakan) dan manajeman (tatakelola usaha). Saya menyebutnya sebagai segitiga emas peternakan.



Jika salah satu aspek nilainya meningkat, maka aspek lainnya harus mengikuti. Misalkan dalam  nilai genetik ternak ayam meningkat, maka kualitas pakan juga harus meningkat dan manajemen pun harus lebih baik sesuai nilai genetiknya. Sebaliknya, dengan pakan yang sebagus apapun dan pemeliharaan yang paling hebat pun, jika  ayam yang dipelihara kualitas genetiknya rendah, maka pemberian pakan dan perlakukan budidaya akan menjadi pemborosan dan kesia-siaan.



Maka dari itu ayam ras petelur dengan kemampuan bertelur 300 butir/tahun membutuhkan pakan dengan kandungan gizi yang lebih berkualitas  dan  sistem budidaya yang lebih rumit dibanding ayam kampung yang  kemampuan bertelurnya hanya 100 butir per tahun.



Untuk memelihara ayam kampung tidak membutuhkan persyaratan kandang yang memakan biaya banyak, bahkan ayam kampung bisa hidup dengan kondisi berkeliaran. Sebaliknya ayam ras membutuhkan kandang dengan suhu dan kelembaban tertentu, cara pemberian pakan tertentu  dan berbagai syarat lainnya yang biasanya ditetapkan oleh breeding farm.  Dengan kondisi kualitas genetik ayam ras yang makin meningkat, bahkan sekarang makin banyak pelaku budidaya peternakan berinvestasi miliaran rupiah untuk jenis kandang Closed House (kandang tertutup) karena dengan teknologi kandang ini, kebutuhan genetik ayam ras bisa dipenuhi dengan sebaik-baiknya.



Sayangnya implementasi teori ini baru sebatas tataran mikro di kalangan pelaku usaha. Padahal teori ini perlu diperluas jangkauannya dalam wilayah kebijakan pemerintah sebagai penanggungjawab manajemen makro peternakan.



Mari kita telaah k asus yang paling aktual, yaitu gonjang-ganjing harga daging akibat kekurangan pasokan dari peternak. Meningkatnya impor sapi bakalan dan impor daging sapi apabila ditelusuri tak lepas dari pengabaian terhadap segitiga emas peternakan.



Pada tahun 1975 Indonesia masih bisa mengekspor sapi ke Singapura, namun menjelang akhir 80an tidak lagi bisa ekspor dan di awal 1990an mulai impor sapi bakalan dan impor daging.

Kejadian ini diawali dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan daging sapi meningkat. Dirjen Peternakan di era Dr Soehadji waktu itu mengakui bahwa pertumbuhan permintaan daging mencapai 7-10% per tahun sedangkan pertumbuhan persediaan daging sapi lokal dengan segala keterbatas biologisnya hanya mampu tumbuh 4%/tahun.



Kekurangan itu dipenuhi dengan impor sapi bakalan dan daging sapi.  Secara  genetic bibit sapi lokal tak mampu memenuhi pertumbuhan permintaan, sehingga perlu upaya untuk meningatkan mutu genetiknya.  Genetic improvement dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Pembibitan Ternak yang dibangun pemerintah di beberapa daerah.  Tampaknya konsep pengembangan bibit sudah dirancang sejak Dirjen Prof Hutasoit tahun 1970-80an melalui pembangunan Balai pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT HMT) sebagai wujud visi pimpinan waktu itu yang sangat memahami semangat Dasar Negara Republik Peternakan.



Sayangnya visi ini kurang ditangkap oleh pelaksana kebijakan di level bawah. Balai pembibitan lebih berfungsi  sebagai tempat recording produktivitas sapi, sementara Balai Hijauan Makanan ternak lebih banyak berperan sebagai tempat mengoleksi potensi bibit hijauan  saja.



Alhasil 30 tahun kemudian yang semestinya sudah ada hasil dari peningkatan mutu genetik, belum tampak hasilnya.



Jalan yang ditempuh adalah melakukan impor sapi bakalan. Berbeda dengan dibidang unggas dimana masyarakat perunggasan mengimpor bibit unggas dan menolak keras impor daging ayam, di usaha peternakan sapi, impor daging sapi diperbolehkan. Alasan yang mengemuka saat itu karena ada segmentasi market, dimana impor daging hanya untuk konsumen tertentu yang membutuhkan daging kualitas atas.



Kebijakan pemerintah di era 90an dengan konsep Tiga Ung cukup menggambarkan pola pengendalian agar segitiga emas peternakan tidak terabaikan.  Konsep Tiga Ung dicanangkan di Lampung sehingga dikenal dengan Gaung dari Lampung.



Makna Tiga Ung adalah, sapi lokal sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan dengan pendukung dan impor daging sebagai penyambung . Maknanya adalah impor sapi bakalan hanya dilakukan jika sapi local tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor inipun diatur agar melalui proses penggemukan selama 3 bulan di dalam negeri sehingga ada semangat menciptakan lapangan kerja dan proses belajar budidaya yang menerapkan kaidah tatakelola yang modern. Pelaku feedloter (penggemukan sapi) dilarang keras mengimpor sapi siap potong.  Impor sebagai penyambung dilakukan karena kebutuhan daging kelas tertentu, bukan impor daging yang dapat mengganggu harga daging sapi hasil peternakan rakyat.



Kini konsep ini dilupakan, bahkan mungkin pengambil kebijakan saat ini tidak tahu menahu soal visi dan  semangat didirikannya Balai pembibitan ternak, dan konsep Gaung dari Lampung.  Dan sangat mungkin sengaja atau tidak sengaja telah terjadi pengabaian terhadap dasar negara republik peternakan yang disebut segitiga emas peternakan.



Hal ini bisa kita lihat saat ini. Kebijakan impor sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang terbukti tidak efektif. Pengambil kebijakan dalam hal ini Menteri Perdagangan tidak paham mekanisme distribusi daging. Ia menyederhakan masalah bahwa dengan impor banyak harga otomatis harga turun. Faktanya tidak sesederhana itu. Jika impor tidak didukung jalur distribusi , dapat terjadi, harga tidak turun namun ada daging yang tidak laku. Itu yang terjadi di lebaran tahun ini.



Singkat kata, untuk memperkokoh republik peternakan, kebijakan pemerintah yang  utama dalah menjalankan “dasar negara” berupa segitiga emas. Pemerintah harus kembali ke dasar (back to basic) dengan mendata keragaman bibit sapi di Indonesia, mendata potensi sumber pakan di berbagai wilayah, tahap berikutnya mengembangkan kualitas dan kualitas bibit dan sumber pakan, dan selanjutnya pola budidaya secara bertahap ditingkatkan melalui penguatan SDM peternakan mulai program pelatihan yang berkesinambungan.  



Proses ini membutuhkan kebijakan jangka panjang dan perlu kesabaran, karena hasilnya baru akan kelihatan 20-30 tahun lagi. Dibutuhkan proses alih generasi yang baik agar visi pemimpin bisa diteruskan kepada penggantinya. Sayangnya di era demokratisasi sekarang ini tengah terjadi politisasi birokrasi yang mengancam kelanggengan sebuah visi jangka panjang.***
 


Bambang Suharno, Sarjana Peternakan