MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Tampilkan postingan dengan label ekonomi bisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi bisnis. Tampilkan semua postingan

Meningkatkan Plafon Rejeki

Pada tanggal 5 Mei 2019 saya mendapat pengetahuan baru, yakni tetang Plafon Rejeki atau Takaran Rejeki. Pengetahuan ini saya dapatkan dari seorang dokter, namanya dr Sigit Setyawadi SPoG, yang sejak beberapa tahun lalu sudah pensiun sebagai dokter dan menjadi seorang investor yang katanya hidup lebih santai dengan mendapatkan passive income yang besar.

Kata dokter Sigit, banyak orang hidupnya jungkir balik karena tidak mengerti hal ini. Mereka sudah bekerja keras seumur hidupnya untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya. Tetapi nasib seperti selalu membawanya turun kembali.

Penyebabnya cuma satu, yaitu *Plafon Rejekinya yang rendah*.

"Saya dulu sama seperti yang lain, bekerja keras nyaris seumur hidup. Baru pada usia 49 tahun saya menemukan jalan dan dua tahun kemudian saya bisa pensiun dini dan sekaligus menutup tempat praktek saya," ujar dokter Sigit.
(tuh kan, banyak orang yang pengin banget jadi dokter agar hidupnya layak, ini kok dokter buru-buru pensiun supaya hidup lebih indah "hehe)

" Banyak orang yang menyayangkan hal itu, tetapi kalau saja mereka tahu apa yang saya tahu. Saya yakin mereka akan mengikuti jejak saya", tambahnya.

Jika sekarang ini banyak yang tidak kaya, berarti ada yang salah. Yang paling dominan dari orang kaya dibanding orang miskin adalah mereka (orang kaya) berorientasi pada hasil.

Mereka tidak peduli jenis bisnis atau pekerjaannya apa.

Sepanjang tidak bertentangan dengan agama dan hasilnya baik, maka akan dikerjakan.

Ini sangat berlawanan dengan rata rata orang pada umumnya yang lebih mengutamakan proses dibanding hasil.

Mereka memilih milih bisnis dan pekerjaan. Mereka mau menjadi tenaga honorer di sebuah kantor meskipun tidak digaji. Yang penting nampak keren.

Pekerjaan atau bisnis yang tidak bergengsi, umumnya ditolak. Dunia bekerja atas peniruan. Kita bisa berjalan dan berbicara karena meniru orang di sekitar kita.

Jika kita ingin kaya, maka tinggal meniru orang kaya. Bagaimana mereka berpikir dan bertindak. Tidak semua perantau kaya. Tapi hampir semua orang kaya adalah perantau.

Merantau itu untuk meningkatkan plafon rejeki/takaran rejekinya.

Dengan cara bergaul belajar dengan orang kaya.

Jika merantau kemudian tetap bergaul dengan orang yang tingkatannya sama, atau dekat orang kaya tetapi sudah menutup pikirannya, misalnya pembantu rumah tangga, maka tidak akan ada perubahan apa apa.

Penghasilan tergantung kepada plafon rejeki.

Penghasilan bisa naik sementara namun  kemudian diturunkan di bawah plafon rejeki oleh pikiran bawah sadar.

Agar penghasilan naik permanen, plafon rejeki harus dinaikkan terlebih dahulu.

Bagaimana caranya?

Contoh ilustrasi rejeki kita terpengaruh orang di sekitar kita yang mempengaruhi pola pikir kita.

Walaupun orang tidak tahu secara sadar penghasilan orang yang mengitarinya,

Tetapi "pikiran bawah sadar" tahu dan berusaha saling mencocokkannya. Penghasilan orang yang memiliki *plafon rejeki rendah selalu naik turun.*

Andaikata naik akan turun lagi di bawah plafon rejekinya. Terus menerus begitu.

Jika ingin penghasilannya tetap tinggi, maka *plafon rejekinya harus dinaikkan* dulu. Jika sudah naik plafon rejekinya maka dengan sendirinya kehidupan mengarah ke kehidupan yang dituju (misal memiliki penghasilan pasif 100 juta per bulan).*

Namun bukan tiba tiba.  Tetapi bertahap.

Akan ditunjukkan jalannya dengan bertemu orang tepat yang mengajak ke arah tersebut.

Semua terjadi seperti kebetulan saja. Kehidupan sekarang adalah hasil pola pikir 5-10 tahun yang lalu.

Kehidupan 5 -10 tahun yang akan datang adalah hasil pola pikir sekarang.

Kehidupan kita tidak akan pernah berubah jika pola pikir kita tidak diubah.

Kita adalah robot.  Punya pola pikir sadar (10%) yang ingin kaya tapi dikuasai pola pikir di bawah sadar (90%) yang ingin miskin yaitu tidak punya uang. Sehingga terbentuk life map miskin.

Akibatnya tidak sinkron dan yang selaku menang adalah pola pikir bawah sadar (yang dianggap sebagai kebutuhan).

Sehingga kebutuhan adalah miskin dan bekerja keras mencari uang, dan sebanyak apapun uang diperoleh akan dihabiskan utk menikmati hidup.

Ini adalah hasil life map miskin. Dimana uang tidak mudah masuk atau jika mudah masuk juga mudah keluar.

Jika berbisnis sesuai *yang kita sukai (passion)* maka hanya akan merubah dari miskin tipe 1 menjadi miskin tipe 2.

Hal ini pula yang berperan membentuk kehidupan keuangan sekarang.

Jika mau berubah, maka harus mencari mentor dan mengikuti arahan mentor *melakukan hal hal yang tidak disukai.*

Merubah nasib dengan cara menghilangkan  life map miskin.

Ingat bahwa nasib tidak akan berubah jika kita tidak mau merubahnya sendiri.
Senjata rahasia agar bisa merubah life miskin dan meningkatkan plafon rejeki :*

1. Mendengarkan 2 ATBS (Audio Terapi Bawah Sadar)

2. Berkumpul dengan orang kaya melalui seminar inspirasi dan mendengarkan audio inspirasi.

Kalau jaman dulu kita harus merantau secara fisik kalau ingin menjadi orang kaya. Maka cara menjadi kaya zaman sekarang adalah merantau secara mental,  dengan merubah pola pikir kita.

Nampaknya mudah tetapi sebenarnya sulit, sehingga nabi saya mengatakan bahwa

Perang terbesar adalah melawan diri kita sendiri.

Kita perlu direnggangkan yaitu melakukan hal yang tidak kita sukai, melewati batas yang kita percayai selama ini (bekerja keras mencari uang).

*Diregangkan agar mendapatkan kekayaan (kemakmuran).*

Ketertarikan terhadap bisnis akan selalu sesuai dengan pola pikir atau program di pikiran bawah sadar kita.

Mereka yg memiliki pola pikir miskin dan bekerja keras mencari uang, akan tertarik kepada bisnis yg sifatnya bekerja mencari uang atau penghasilan aktif, yaitu kuadran E dan S.

*Sebaliknya mereka yg memiliki pola pikir kaya akan tertarik dengan bisnis yg sifatnya membangun aset, yaitu kuadran B dan I (lihat kecerdasan finansial).*

Kadang kadang ada ketertarikan semu atau palsu dari mereka yg memiliki pola pikir miskin pada bisnis yg sifatnya membangun aset.

Ini karena ajakan seseorang atau setelah ikut seminar tertentu.

Biasanya hanya bertahan sebentar saja karena tidak bisa bertahan dari

Tekanan bawah sadarnya sendiri

Untuk bisa mengerjakan bisnis yang sifatnya membangun aset, seseorang harus
dinaikkan dulu citra dirinya menjadi citra diri kaya atau memiliki program pikiran kaya.

Jika pola pikir bawah sadar berpenghasilan pasif 100jt per bulan sudah terinternalisasi menjadi program pikiran kita maka :

1. Jika punya mentor maka akan lurus ke tujuan.

2. Jika memakai cara sendiri maka akan zig zag mencapai tujuan

Jika tidak punya impian maka akan berputar putar seperti yang dulu.

Mau tahu cara meningkatkan Plafon rejeki secara gratis?  Silakan klik disini 
dan ketik plafon rejeki#sebut nama #kota anda

Berkunjung ke Pameran Agribisnis di Bangkok

deretan orang VIP di opening ceremony Sima ASEAN
Thailand tampaknya akan semakin mantap memposisikan diri sebagai negara
di salah satu sudut kota
nomor satu di bidang pertanian se kawasan ASEAN. Buktinya, pameran agribisnis internasional bernama SIMA ASEAN yang diselenggarakan oleh event organizer asal Perancis tidak mengambil lokasi di Indonesia sebagai negara terbesar se kawasan Asia Tenggara, melainkan di Thailand.

Saya diundang untuk berkunjung ke pameran SIMA ASEAN mewakili majalah Infovet . Pameran berlangsung Kamis sampai Sabtu 8-10 September 2016. Ini adalah ketiga kalinya saya ke Bangkok untuk mengunjungi pameran. Pertama,  saya pernah mengunjungi pameran peternakan terbesar se asia yang namanya VIV (penyelenggaranya adalah event organizer asal Belanda bekerjasama dengan Thailand). Kedua,  saya berkunjung ke pameran ILDEX (International Livestock and Dairy Industry Expo) tahun 2012 . Penyelenggara ILDEX masih satu group dengan VIV, namun skala pamerannya tidak sebesar VIV. Kedua pameran tersebut sudah cukup dikenal oleh masyarakat peternakan di Indonesia, sehingga saat pameran berlangsung saya banyak bertemu dengan orang Indonesia.

Sementara itu SIMA ASEAN yang berlangsung tahun ini adalah baru yang kedua kalinya diselenggarakan. Tak heran jika masyarakat Indonesia belum begitu banyak yang tahu. Di negara asalnya Perancis, SIMA adalah salah satu pameran agribisnis terbesar di dunia.

Berbeda dengan VIV dan Ildex yang menampilkan industri peternakan, Sima ASEAN lebih memfokuskan ke Industri peralatan dan mesin pertanian, mulai dari traktor, peralatan pembenihan, peralatan budidaya, peralatan breeding, alat ransportasi pertanian, alat pemerah susu, teknologi laboratorium serta sejumlah penemuan baru di bidang pertanian.

Kebijakan itu Sudahkah Bijak?



Setelah protes bertubi-tubi datang dari kalangan pengusaha dan peternak, akhirnya pemerintah membatalkan aturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi semua ternak baik impor maupun di dalam negeri. Dengan demikian, semua ternak dipastikan bebas dari pungutan pajak tersebut.

"Untuk mensinergikan kebijakan pangan, khususnya barang strategis di bidang pangan, maka untuk ternak tidak akan dikenakan PPN," tegas Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (22/1/2016).  

Ini adalah kejadian aktual pertengahan januari 2016. Sebuah kebijakan tentang pungutan PPN yang dalam waktu beberapa hari langsung dicabut. “Sebuah drama yang tidak lucu,” kata seorang pengamat.
Sebelumnya, polemik  tentang kecukupan jagung menjadi perdebatan keras antara pemerintah dengan peternak dan produsen pakan. Pasalnya, Pemerintah menganggap jagung dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan, sebaliknya apa yang dirasakan oleh peternak dan pabrik pakan justru sebaliknya. Jagung sulit didapat dan harganya melambung tinggi. Melalui negosiasi yang alot akhirnya pemerintah mengizinkan kembali impor jagung. Proses ini menguras waktu dan energi yang sangat besar. Dampak lanjutannya, biaya produksi pakan menjadi naik drastis.

Soal kebijakan impor jumlah sapi bakalan di era sebelumnya juga sempat membingungkan publik. Kementerian Pertanian  menyatakan sapi lokal cukup sehingga impor sapi diturunkan drastis. Akibatnya harga daging sapi melambung tinggi dan terjadi pengurasan sapi lokal. Bahkan sapi perah dijual sebagai sapi potong karena peternak tergiur harga sapi yang mahal.

Kebijakan “menghambat” impor kemungkinkan didasari semangat untuk secepatnya mencapai titik swasembada sekaligus membela peternak dalam negeri. Namun jika semangat itu tidak didasari data lapangan yang akurat, dapat terjadi dampak negatif yang jauh lebih besar.

Ambil contoh, karena pabrik pakan dan peternak (selfmixing farm) kekurangan pasokan jagung , maka para formulator pakan harus bekerja ekstra keras mencari formula baru yang mengurangi jagung. Hasilnya biaya pembuatan pakan menjadi lebih tinggi, karena ketersediaan bahan baku alternatif juga minim.  Pada saat yang bersamaan pemerintah melakukan kesepakatan afkir dini parent stock agar harga ayam di tingkat peternak bisa terdongkrak naik dan memberi laba bagi peternak.

Alhasil, ketika pasokan ayam dan telur di lapangan berkurang, harga ayam terdongkrak naik dan selanjutnya harga ayam di konsumen juga ikut melonjak.  Bisa dibayangkan, jika PPN untuk ternak diberlakukan baik untuk ayam maupun sapi, maka harga daging ayam dan daging sapi akan lebih melonjak lagi. 

Pengenaan PPN ini bisa jadi dapat menambah pendapatan pajak bagi negara, namun akibat negatifnya jauh lebih besar, yakni konsumen level bawah tidak mampu membeli sumber gizi protein hewani yang merupakan sumber kesehatan dan kecerdasan.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa ini adalah, pertama, semua pengambil kebijakan perlu memahami secara komprehensif dampak setiap kebijakan yang akan diambil. Kebijakan Menteri Pertanian bukan hanya untuk petani pagi, jagung dan kedelai, tapi juga peternak sapi peternak ayam, dan berujung pada konsumen. Bahkan lebih jauh lebih berujung pada kecerdasan dan kesehatan anak bangsa.

Kedua, sangat diperlukan data yang akurat dan cepat bagi para pengambil kebijakan. Indonesia begitu luas dan beragam, sementara data yang dipakai pemerintah mungkin saja data nasional, bukan per wilayah. Data per provinsi pun bisa saja kurang tepat diimplementasikan. Seperti yang biasa dilakukan oleh pelaku bisnis. Data mereka dipecah berdasarkan sentra bisnis komoditas, bukan per wilayah pemerintahan. Misalnya untuk peternakan ayam ada data priangan timur, Jawa Tengah bagian selatan plus Jogja, Jabodetabeksuci (Jakarta, Bogor, Depok ,Tangerang,Sukabumi, Cianjur) dan sebagainya yang  bukan berbasis provinsi maupun kabupaten.

Kecepatan data juga ikut menentukan kualitas data itu sendiri. Tak kalah pentingnya, adalah bagaimana pengambil kebijakan dapat mendalami data itu untuk mengambil kebijakan tanpa diiringi tujuan pencitraan “telah berhasil” mencapai target.

Kita paham, para pejabat dikejar target seperti supir bus kota mengejar setoran. Menteri Pertanian perlu membela petani, tapi jangan sampai menguras sapi lokal, apalagi sapi betina produktif. Menteri membela petani, tapi juga harus membuat harga pangan wajar. Menteri ingin sepat swasembada jagung, namun jika faktanya jagung belum mencukupi kebutuhan peternak, janganlah dipaksakan menyetop impor jagung. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kajian ulang terhadap produksi jagung di berbagai wilayah.

Maka, yang ketiga, para pengambil kebijakan semestinya berpikir komprehensif dan meninggalkan ego sektoral. Ini adalah pesan berulang kali dari Presiden Jokowi kepada para pembantunya. Presiden paham betul, jika para pembantunya memelihara ego sektoralnya, pembangunan tidak dapat berjalan secara optimal.
Intinya pengambil kebijakan itu memang harus bijak, Namanya juga kebijakan, semestinya bijak di mata publik.***

Diskusi MEA dari Kampus ke Kampus

Berlakunya MEA, Masyarakat Ekomomi ASEAN, apakah sebuah mimpi buruk? Sejauh mana kesiapan kita? Bagaimana cara terbaik kita untuk menyikapi perubahan besar ini?

Dalam beberapa bulan terakhir ini, diskusi MEA tiada habisnya. Bermacam organisasi pemerintah maupun swasta melakukan pembahasan baik diskusi terbatas maupun seminar besar. Demikian pula berbagai kampus menyelenggarakan talkshow dan seminar membahas apa itu MEA dan bagaimana menyikapinya.

Sabtu 28 Maret 2015, saya diundang sebagai narasumber talkshow di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dengan tema Peran Pemuda dalam Mengembangkan UKM Peternakan di Era MEA. Acara yang berlangsung di Gedung Roedhiro ini menampilkan  Sekretaris Ditjen Peternakan Dr. Riwantoro, Pakar Ekonomi Dr. Istiqomah, Pebisnis peternakan Unggas Bambang Rijanto dan saya. Lebih dari 200 orang hadir terdiri dari mahasiswa dosen, peternak, guru dan siswa SMK Peternakan. Acara dipandu oleh Dr. Juni Sumarmono, dosen Fakultas Peternakan Unsoed.

Seminggu kemudian, Sabtu 4 April 2015, saya sebagai pembicara seminar di Fakultas Teknik Industri UII Jogja. Saya tampil bersama owner Klinik Kopi Firmansyah. Lebih dari 100 mahasiswa hadir dalam seminar ini. Di kedua forum ini, perbincangan utamanya adalah seputar bagaimana menyiapkan diri di Era MEA yang persaingannya diperkirakan semakin kompetetif. Bedanya, di Unsoed, bentuk acaranya talkshow dan fokusnya ke arah usaha peternakan.

Beberapa bulan sebelumnya, beberapa lembaga mengundang saya untuk membahas topik yang sama, antara lain STIE Bhakti Pembangunan Jakarta Selatan, Gereja Kristen Gunung Sahari Jakarta, dan lain lain.

Dari berbagai forum ini, saya melihat bahwa publik lebih banyak bersikap pesimis dari pada optimis. Apalagi jika dalah forum itu ada pejabat dan pakar. Mereka biasanya mengeluarkan data yang menyedihkan, peringkat SDM Indonesia yang berada di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia.

Dengan data seperti ini, publik secara tidak sengaja diajak untuk memaklumi kalau nanti kita hanya sebagai penonton di era MEA ini. Padahal, MEA bukan hanya soal peringkat SDM. Mari kita telaah.

Persaingan antar pemerintah

Sebenarnya persaingan di era MEA lebih banyak persaingan antar pemerintah. Masyarakat hanya mengikuti apa yang terjadi saja, karena prinsipnya masyarakat yang akan meihat peluangnya dimana, jika ada peluang bagus untuk ekspor, akan berusaha ekspor. Sebaliknya jika peluangnya impor, masyarakat akan tergiur untuk impor. Hanya sedikit pengusaha yang "membela" tanah air dengan hanya mengkonsumsi produk dalam negeri dan tidak mau produk impor.

Di kalangan peternak ayam ras (ayam negeri), kita melihat mereka bisa memelihara ayam dengan produktivitas yang sama dengan peternak lain Thailand dan Malaysia. Yang membedakan adalah, harga bahan baku pakan mahal sehingga biaya pakan mahal. Harga di kandang murah tapi sampai di konsumsi selisihnya tinggi, akibat rantai tata niaga yag panjang dan biaya transport tinggi. Nah urusan bahan baku mahal, sistem tata niaga panjang, biaya transport tinggi, itu adalah urusan pemeritah.

Jika mau bersaing dengan hasil gemilang, caranya tidak lain adalah pemerintah mengatur tata niaga ayam (pertanian), membuat sistem logistik yang baik sehingga biaya transport dan pengiriman barang lebih efisien. Belum lagi soal pungutan resmi dan tidak resmi antar propinsi, antar kabupaten maupun antar pulai. Itu semua sumber pemborosan yang mengakibatkan daya saing rendah. Dan itu semua bukan urusan peternak, melainkan pemerintah.

Jangan Salahkan Masyarakat

Jadi jangan salahkan masyarakat, karena masyarakat Indonesia pada umumnya pekerja keras. Bukan pemalas sebagaimana anggapan kita selama ini. Masyarakat kita juga bisa diajak disiplin jika diperlakukan dengan disiplin yang baik.

Ingat, beberapa tahun lalu masyarakat tidak bisa diatur, suka naik kereta di atap atau di sambungan antar gerbong. Sekarang mereka mau disiplin, tidak ada yang bergelantungan di atap dan di rangkaian antar gerbong. Mereka bisa didiplin karena diajak oleh pemimpin yang berdisiplin. Lihat juga masyaraat kita kalau di Singapura, pasti au disiplin dalam antri, disiplin di jalan, dan sebagainya

Itu semua karena aparat pemerintah yang mengelola Kereta Api mampu memimpin masyarakat dengan sistem yang baik.

Persaingan Bukan Soal Harga Murah

Tak kalah pentingnya , persaingan bukan hanya soal harga kita harus lebih murah dibanding negara lain.  Coba kita lihat faktanya. Contohnya dalam perdagangan ayam dunia, Brazil dikenal menawarkan ayam yang lebih murah dibanding negara lain, namun nyatanya Eropa lebih memilih ayam dari Thailand. Itu karena Thailand mampu memberikan nilai lebih dibanding Brazil.

Untuk dapat memenangkan persaingan, pelaku bisis bisa menjadi pelopor dalam menyediakan produk tertentu. Contoh merek Aqua, teh botol Sosro. Keduanya sanggup bersaing karena bertindak sebagai pencipta atau pelopor produk. Tentunya mereka siap bersaing di Era MEA.


Bambang Suharno (kanan) di FTI UII Jogja
Jika menjadi pelopor nggak bisa, jadilah yang terbaik. Google, facebook dan twitter adalah contoh produk yang bukan pelopor namun sebagai pemenang. Karena mereka memberikan yang lebih baik dibanding yang lain.

Jika menjadi yang terbaik juga tidak bisa, maka pelaku bisnis dapat bersaing dengan menjadi yang berbeda. Produk-produk yang secara kualitas tidak yang terbaik, mampu bersaing jika dapat memberikan sesuatu yang berbeda dibanding produk pada umumnya.

(bersambung)

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Daya Saing Kita

Dalam sebuah diskusi dengan kalangan pelaku bisnis peternakan unggas, saya bertanya kepada seorang peternak, "apakah Anda bisa memelihara ayam dengan standar produksi yang sama dengan yang dilakukan oleh Peternak Thailand?"

Jawabnya dengan mantap," Ya, bisa. kalau di Thailand satu meter persegi menghasilkan ayam hidup 10 kg dalam 25 hari, saya bisa. Kalau di Thailand konversi pakan 1,8, saya bisa. Bukan hanya Thailand, mau diadu dengan negara lain dengan parameter teknis yang sama, kami siap".

"Lho, kalau begitu kita nggak usah takut globalisasi dong, apalagi MEA (masyarakat Ekonomi ASEAN," kata saya.

"Ya, seharusnya tidak, karena setiap teknologi baru di   bidang peternakan, kita bisa langsung mempraktekannya. yang jadi masalah adalah faktor-faktor di luar urusan peternak. Misalnya rantai pemasaran yang panjang, biaya distribusi yang lebih mahal, bahan baku pakan lebih mahal. Juga pungutan-pungutan yang nggak jelas,"urainya berapi-api.

Sementara itu di beberapa forum yang membahas daya saing Indonesia, para pejabat dan birokrat berulang-ulang berbicara soal indeks kualitas SDM, dimana Indonesia pada posisi yang rendah. Untuk mengukur indek kualitas SDM ini digunakan parameter antara lain tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Melalui ukuran indeks SDM ini, lantas mereka--para pakar--menjadi memaklumi bahwa Indonesia layak kalah dengan negara tetangga. Karena para pakar memaklumi jika kita kalah bersaing, maka psikologis masyarakat menjadi kalah, menjadi pemegang "mental kalah" bukan mental pemenang.

Sangat disayangkan pula bahwa dalam analisa itu disampaikan, karena peternak rata-rata tingkat pendidikannya rendah, maka tidak mampu bersaing dengan peternak negara lain.

Semestinya kita memilah dulu peta persaingan. Di bidang peternakan unggas, permasalahan utamanya justru bukan di tingkat pelaku budidaya alias peternak. Mereka sudah mampu beternak sekelas peternak luar negeri. Bahkan bisa lebih efisien dari mereka. Soalnya adalah faktor di luar itu.

Jadi gimana? Menurut saya, yang utama adalah pemerintahnya, di pusat maupun di daerah. Apakah mereka bisa mengambil terobosan agar bahan baku pakan melipah dan harganya bersaing dengan bahan baku impor. Apakah pemerintah bisa lebih kreatif dalam membuat kebijakan yang mendorong rantai pemasaran dari kandang ke konsumen lebih efisien. Apakah infrastruktur khususnya jalan dari kandang ke konsumen bisa dijamin tidak rusak, sehingga lebih lancar dan tingkat kerusakan dan kematian ternak di perjalanan menurun?

Jika itu semua bisa dilakukan, peternak siap bertanding di laga ASEAN.

Oya, tahun lalu saya berkunjung ke acara pameran peternakan di Perancis (SPACE 2014) . Saya berkesempatan berkunjung ke peternakan sapi dan ayam. Perjalanan dari kota Rennes (tempat pameran) ke peternakan ditempuh dalam waktu 1 jam, dengan bus ukuran besar. Jalannya halus mulus tanpa lubang, sampai di halaman peternakan. Bagaimana dengan jalan menuju peternakan kita?

Jangankan ke peternakan, jalan menuju perumahan di tengah kota saja banyak yang hancur hehehe.

Tetang semangat.


Impor Daging dan Pengabaian Terhadap Segitiga Emas Peternakan



Ilmu paling mendasar bagi calon insinyur peternakan adalah segitiga produksi peternakan. Ibarat belajar kenegaraan, segitiga produksi setara dengan  pancasila sebagai “dasar negara”. Artinya “dasar negara” bagi Republik Peternakan adalah segitiga produksi.



Materi “dasar negara” ini demikian sering diulang di berbagai matakuliah dan forum diskusi sehingga lama-lama banyak yang menjadi bosan membahas materi ini.  Sama bosannya mendiskusikan Pancasila dalam berbagai Penataran P4 era orde baru. Para dosen pun tampaknya menyampaikan pengetahuan ini secara normatif saja tanpa menjiwai apalagi mengelaborasi dalam kondisi aktual negara Republik Peternakan Indonesia.



Segitiga produksi menggambarkan segitiga sama sisi yang merupakan aspek paling penting dalam budidaya peternakan. Ketiga aspek tersebut adalah breeding (pembibitan), Feeding (pakan) dan manajeman (tatakelola usaha). Saya menyebutnya sebagai segitiga emas peternakan.



Jika salah satu aspek nilainya meningkat, maka aspek lainnya harus mengikuti. Misalkan dalam  nilai genetik ternak ayam meningkat, maka kualitas pakan juga harus meningkat dan manajemen pun harus lebih baik sesuai nilai genetiknya. Sebaliknya, dengan pakan yang sebagus apapun dan pemeliharaan yang paling hebat pun, jika  ayam yang dipelihara kualitas genetiknya rendah, maka pemberian pakan dan perlakukan budidaya akan menjadi pemborosan dan kesia-siaan.



Maka dari itu ayam ras petelur dengan kemampuan bertelur 300 butir/tahun membutuhkan pakan dengan kandungan gizi yang lebih berkualitas  dan  sistem budidaya yang lebih rumit dibanding ayam kampung yang  kemampuan bertelurnya hanya 100 butir per tahun.



Untuk memelihara ayam kampung tidak membutuhkan persyaratan kandang yang memakan biaya banyak, bahkan ayam kampung bisa hidup dengan kondisi berkeliaran. Sebaliknya ayam ras membutuhkan kandang dengan suhu dan kelembaban tertentu, cara pemberian pakan tertentu  dan berbagai syarat lainnya yang biasanya ditetapkan oleh breeding farm.  Dengan kondisi kualitas genetik ayam ras yang makin meningkat, bahkan sekarang makin banyak pelaku budidaya peternakan berinvestasi miliaran rupiah untuk jenis kandang Closed House (kandang tertutup) karena dengan teknologi kandang ini, kebutuhan genetik ayam ras bisa dipenuhi dengan sebaik-baiknya.



Sayangnya implementasi teori ini baru sebatas tataran mikro di kalangan pelaku usaha. Padahal teori ini perlu diperluas jangkauannya dalam wilayah kebijakan pemerintah sebagai penanggungjawab manajemen makro peternakan.



Mari kita telaah k asus yang paling aktual, yaitu gonjang-ganjing harga daging akibat kekurangan pasokan dari peternak. Meningkatnya impor sapi bakalan dan impor daging sapi apabila ditelusuri tak lepas dari pengabaian terhadap segitiga emas peternakan.



Pada tahun 1975 Indonesia masih bisa mengekspor sapi ke Singapura, namun menjelang akhir 80an tidak lagi bisa ekspor dan di awal 1990an mulai impor sapi bakalan dan impor daging.

Kejadian ini diawali dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan daging sapi meningkat. Dirjen Peternakan di era Dr Soehadji waktu itu mengakui bahwa pertumbuhan permintaan daging mencapai 7-10% per tahun sedangkan pertumbuhan persediaan daging sapi lokal dengan segala keterbatas biologisnya hanya mampu tumbuh 4%/tahun.



Kekurangan itu dipenuhi dengan impor sapi bakalan dan daging sapi.  Secara  genetic bibit sapi lokal tak mampu memenuhi pertumbuhan permintaan, sehingga perlu upaya untuk meningatkan mutu genetiknya.  Genetic improvement dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Pembibitan Ternak yang dibangun pemerintah di beberapa daerah.  Tampaknya konsep pengembangan bibit sudah dirancang sejak Dirjen Prof Hutasoit tahun 1970-80an melalui pembangunan Balai pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT HMT) sebagai wujud visi pimpinan waktu itu yang sangat memahami semangat Dasar Negara Republik Peternakan.



Sayangnya visi ini kurang ditangkap oleh pelaksana kebijakan di level bawah. Balai pembibitan lebih berfungsi  sebagai tempat recording produktivitas sapi, sementara Balai Hijauan Makanan ternak lebih banyak berperan sebagai tempat mengoleksi potensi bibit hijauan  saja.



Alhasil 30 tahun kemudian yang semestinya sudah ada hasil dari peningkatan mutu genetik, belum tampak hasilnya.



Jalan yang ditempuh adalah melakukan impor sapi bakalan. Berbeda dengan dibidang unggas dimana masyarakat perunggasan mengimpor bibit unggas dan menolak keras impor daging ayam, di usaha peternakan sapi, impor daging sapi diperbolehkan. Alasan yang mengemuka saat itu karena ada segmentasi market, dimana impor daging hanya untuk konsumen tertentu yang membutuhkan daging kualitas atas.



Kebijakan pemerintah di era 90an dengan konsep Tiga Ung cukup menggambarkan pola pengendalian agar segitiga emas peternakan tidak terabaikan.  Konsep Tiga Ung dicanangkan di Lampung sehingga dikenal dengan Gaung dari Lampung.



Makna Tiga Ung adalah, sapi lokal sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan dengan pendukung dan impor daging sebagai penyambung . Maknanya adalah impor sapi bakalan hanya dilakukan jika sapi local tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor inipun diatur agar melalui proses penggemukan selama 3 bulan di dalam negeri sehingga ada semangat menciptakan lapangan kerja dan proses belajar budidaya yang menerapkan kaidah tatakelola yang modern. Pelaku feedloter (penggemukan sapi) dilarang keras mengimpor sapi siap potong.  Impor sebagai penyambung dilakukan karena kebutuhan daging kelas tertentu, bukan impor daging yang dapat mengganggu harga daging sapi hasil peternakan rakyat.



Kini konsep ini dilupakan, bahkan mungkin pengambil kebijakan saat ini tidak tahu menahu soal visi dan  semangat didirikannya Balai pembibitan ternak, dan konsep Gaung dari Lampung.  Dan sangat mungkin sengaja atau tidak sengaja telah terjadi pengabaian terhadap dasar negara republik peternakan yang disebut segitiga emas peternakan.



Hal ini bisa kita lihat saat ini. Kebijakan impor sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang terbukti tidak efektif. Pengambil kebijakan dalam hal ini Menteri Perdagangan tidak paham mekanisme distribusi daging. Ia menyederhakan masalah bahwa dengan impor banyak harga otomatis harga turun. Faktanya tidak sesederhana itu. Jika impor tidak didukung jalur distribusi , dapat terjadi, harga tidak turun namun ada daging yang tidak laku. Itu yang terjadi di lebaran tahun ini.



Singkat kata, untuk memperkokoh republik peternakan, kebijakan pemerintah yang  utama dalah menjalankan “dasar negara” berupa segitiga emas. Pemerintah harus kembali ke dasar (back to basic) dengan mendata keragaman bibit sapi di Indonesia, mendata potensi sumber pakan di berbagai wilayah, tahap berikutnya mengembangkan kualitas dan kualitas bibit dan sumber pakan, dan selanjutnya pola budidaya secara bertahap ditingkatkan melalui penguatan SDM peternakan mulai program pelatihan yang berkesinambungan.  



Proses ini membutuhkan kebijakan jangka panjang dan perlu kesabaran, karena hasilnya baru akan kelihatan 20-30 tahun lagi. Dibutuhkan proses alih generasi yang baik agar visi pemimpin bisa diteruskan kepada penggantinya. Sayangnya di era demokratisasi sekarang ini tengah terjadi politisasi birokrasi yang mengancam kelanggengan sebuah visi jangka panjang.***
 


Bambang Suharno, Sarjana Peternakan